Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Takwil Ala Orde Baru

Oleh Lukman Hakim Husnan

Orang bilang, Orde Baru amat gandrung memproduksi akronim. Ya, membikin singkatan. Saking ramainya, orang dibikin pusing dan kemudian jadi bingung, kadang juga hendak ketawa sendiri, memikirkan deret bebunyian aneh itu. Tak terkecuali saya.

Saya mengalami masa-masa ketika negeri ini dipimpin Pak Harto. Waktu itu saya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), dan pada saat reformasi bergulir, saya sedang memelototi Lembar Kerja Siswa (disingkat: LKS) di Sekolah Menengah Pertama (SMP, yang tidak lama kemudian beralih nama menjadi SLTP dan lalu balik lagi jadi SMP).

Akronim unik yang sampai sekarang masih membuat saya geli adalah, salah satunya, supersemar (yang kerap diulang-ulang penyebutannya pada Penataran P4). Pertama kali mendengar kata itu, saya membayangkan sosok tambun di dunia pewayangan bernama semar; sesepuh punakawan. Tetapi karena akronim itu menyertakan kata super, saya selanjutnya membayangkan Pak Semar sedang melepas baju regulernya. Di balik itu tenyata sudah ada seragam berwarna dominan biru, lengkap dengan jubah dan celana dalam merah. Supersemar kemudian terbang memberantas kejahatan, membela kebenaran. Buat saya, waktu itu, Supersemar tidak lain merupakan gabungan dari imajinasi saya tentang tokoh pewayangan Semar dan bintang komik Superman.

Satu lagi; gestapu. Ini adalah akronim dari Gerakan September Tiga Puluh, atau yang lebih sering disebut dengan G30S (Gerakan Tiga Puluh September). Konon, Bung Karno (Presiden sebelumnya) tak suka dengan istilah itu. Betapa tidak, operasi militer berdarah-darah yang terjadi pada dini hari tanggal 1 oktober itu kenapa bisa disebut dengan gerakan 30 september? Bung Karno sendiri lebih suka menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober).

Belakangan muncul analisis, akronim gestapu dipilih karena kemiripannya dengan Gestapo (Geheime Staatspolizei), polisi rahasia rezim NAZI di jerman yang terkenal kejam. Pemilihan akronim Gestapu dengan demikian dimaksudkan untuk melahirkan horor yang sama dengan ingatan khalayak tentang Gestapo.

Pendek kata, sekali lagi, akronim-akronim semacam itu bertebaran pada masanya. Ada akronim biasa, seperti LKMD, PKK, dan sebagainya (yang barangkali generasi yang datang lebih belakangan tak lagi mengerti maknanya). Ada juga akronim yang kemudian diakronimkan lagi, seperti AMD (ABRI Masuk Desa, dan ABRI sendiri adalah akronim dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Syahdan, akibat saking banyaknya dan barangkali karena khawatir dikelirukan maksudnya, ORBA (akronim dari Orde Baru) tak pernah alpa menyisipkan lampiran berisi daftar singkatan berikut kepanjangannya tiap kali merilis naskah-naskah.

Al-Hasil, sebuah istilah bisa diakronimkan, tetapi tidak setiap istilah mesti disingkat. Umumnya, orang memendekkan sebuah konsep menjadi suatu singkatan untuk kepentingan agar mudah diingat. Tan Malaka, dalam bukunya Madilog, mempraktekkan cara mengingat seperti ini dan menyebutnya dengan sebutan Jembatan Keledai, atau dalam bahasa asingnya, ezelsbruggetje. Ya, cara goblok-goblok-kan untuk mengingat sesuatu.

Dalam magnum opus-nya tersebut, Tan Malaka menyebut salah satu contoh jembatan keledai bikinannya, yakni AFIAGUMMI. Itu adalah jawaban dari pertanyaannya sendiri, kalau ada dua negara berperang, mana yang menang? Tan Malaka menjawab, negara yang unggul di AFIAGUMMI itu. "A" mewakili "Armament" alias kekuatan tempur, baik darat, laut, maupun udara. "F" berarti "Finance", yang dimaknai kekuatan keuangan. Sayangnya, Tan Malaka tidak menjelaskan apa yang ia maksud dengan IAGUMMI.

Tan Malaka barangkali banyak membikin jembatan keledai macam itu. Bahkan judul buku Madilog sendiri sebetulnya hasil jembatan keledai dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Kita juga barangkali sering melakukan ini, terutama pada masa-masa sekolah dulu. Maka kita mengenal sebuah akronim populer untuk nama-nama warna pelangi dalam MEJIKUHIBINIU.

Dulu, guru bahasa inggris saya juga kerap mengijazahkan jembatan keledai, misalnya, katanya, "Mbak Dewi Ayu gak doyan es". Maksudnya, kata kerja setelah subyek "They, We, I, You" tidak bisa ditambah dengan "s". They eat something, bukan They eats something.

Ini mungkin baik, hanya saja kalau sudah setiap hal dipaksa menjadi akronim, atau bahwa suatu konsep tertentu dianggap pasti sebuah singkatan, itu soal lain yang bukan lagi menyerdehanakan konsep, tetapi malah bakal melahirkan anggapan tentang konsep baru yang tak lagi gampang diingat.

Tetapi, di mana saja, untuk kepentingan terbatas, orang sah-sah belaka membuat-buat akronim, dan atau menafsirkan suatu kata sebagai sebuah akronim. Inilah yang terjadi di sebuah terminal, ketika dulu saya mendengar bawa Jibril adalah akronim dari --maaf-- Jiwa Berandal tapi Ingat Ilahi.

Dalam soal tafsir, spesifik pada kasus basmalah, terdapat pula sekelompok penafsir yang menakwilkannya sebagai akronim. Al-Qurthubi mengutip sebuah riwayat dari Utsman bin Affan. Konon, yang belakangan ini pernah menanyakan makna bismillahir rahmanir rahim itu kepada Nabi Saw. Beliau menjawab,

Ba’ merupakan kependekan dari Bala’ullah (ujian Allah). Siin adalah singkatan dari Sana’ullah (karunia Allah). Mim adalah petikan dari Mulkullah (kekuasaan Allah). Sedang lafazh Allah menunjukkan bahwa tiada Tuhan selain-Nya. Al-Rahman berhubungan dengan kasih Allah, pada makhluk-Nya yang berbuat baik maupun yang berlaku buruk. Al-Rahim juga berkaitan dengan kasih-Nya, tetapi hanya kepada kaum mukmin saja.”

Sementara itu, beberapa penafsir meyakini bahwa setiap huruf dalam kalimat basmalah, tak kurang tak lebih, adalah akronim dari nama-nama Allah. Ba’ menunjukkan nama Bashiir (Yang Maha Melihat). Siin adalah petikan Samii’ (Yang Maha Mendengar). Miim adalah permulaan dari Maliik (Yang Maha Menguasai). Alif adalah huruf awal dari Allah. Laam menunjukkan nama Lathiif (Yang Maha Halus). Ha’ adalah awal dari Hadii (Yang Maha Menunjukkan). Ra’ mengindikasikan nama Razzaaq (Yang Maha Memberi Rizki). Ha’ mewakili Haliim (Yang Maha Penyantun). Dan Nuun adalah kependekan dari Nuur (Yang Maha Bercahaya).

Demikianlah, ternyata ada juga takwil al-Quran ala Orde Baru --kalau boleh disebut demikian. Setiap huruf dianggap penting sehingga ia seolah mewakili kata dan atau konsep tertentu. Maka jadilah; akronim. Kelak, terutama pada konteks fawatihus suwar (ayat-ayat di permulaan surat yang terdiri dari rangkaian huruf seperti alif lam mim, ha mim, dan seterusnya), logika takwil macam ini tidak bisa untuk tidak diacuhkan.

Barangkali memang ada problem, seperti apakah diperkenankan memberi takwil pada ayat-ayat mutasyabihat, laiknya alif lam mim dan kawan-kawan!? Juga apakah diperbolehkan memosisikan ayat yang terang-terang muhkamat sebagai bagian dari mutasyabihat, misalnya menakwil basmalah --yang sebetulnya sudah amat jelas maknanya-- sebagai akronim dari beberapa kata lain!?

Dus, sepertinya kita membutuhkan kajian yang lebih serius, yang bakal sulit ditemukan dalam tulisan bertujuan lain layaknya tulisan ini.


Posting Komentar untuk "Takwil Ala Orde Baru"