Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Beda Aliran, Berbeda Memahami Takdir

Oleh: Riffa Khoirun Nisa

Segala sesuatu apapun itu yang terjadi di alam semesta ini, terutama yang menimpa pada diri manusia telah digariskan dan diatur sedemikian indah dalam skenario Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Semua telah tercatat dalam sebuah kitab Lauhul Mahfuzh sejak zaman 'azali. Ada ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia, seperti kematian, rizki, nasib, jodoh, bahagia ataupun celaka yang sengaja Allah Swt. rahasiakan bukan dengan tanpa adanya tujuan. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka seorang hamba memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai apa yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya untuk memperbaiki citra diri.

Termasuk prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ialah mengimani Qadha dan Qadar (Takdir) yakni, takdir baik dan takdir buruk. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga ia beriman kepada takdir, yaitu ia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan dan takdir Allah Swt. Sebagaimana adanya, perintah beriman kepada takdir ini tercantum dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya yang dapat dijumpai pada kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5). Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi Saw mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab; “Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”

Takdir Allah merupakan iradah --kehendak-- Allah Swt. Oleh sebab itu, takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita bersyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ridha. Kita harus yakin, bahwa dibalik musibah itu pasti ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui segala isi hati dan atas apa yang diperbuat oleh makhluk-Nya.

Demikian begitu, didalam QS. Ash-Shaffaat [37] : 96 mengatakan: "Wallahu khalaqakum wamaa ta’maluuna" yang berarti “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” Kemudian ayat tersebut dijelaskan dalam Tafsir al-Muyassar, mengatakan: “Lalu kalian meninggalkan penyembahan kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan menciptakan amal perbuatan kalian?” sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, mengatakan: “Padahal Allah-lah Yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. Imam Bukhari dalam kitab “Af’al Ibad” dari Ali bin Al Madini, dari Marwan bin Mu'awiyah, dari Abu Malik, dari Rib’i ibnu Hirasy, dari Huzaifah r.a. secara marfu', bahwa: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala-lah yang menciptakan semua pekerja dan hasil kerjanya”.

Ayat ini sering digunakan oleh kebanyakan orang --ahli kalam-- pada saat membahas takdir untuk dijadikan dalil yang memberi kesan seolah-olah manusia “dipaksa” untuk melakukan perbuatannya. Dan bahwa semua perbuatan itu dilakukan karena “dipaksa” oleh adanya Iradah dan Masyiatullah. Dikesankan pula bahwa Allah telah menciptakan manusia sekaligus perbuatannya --yang mana manusia dianalogikan seperti wayang yang dimainkan oleh seorang dalang. Ini adalah dalil penguat pendapat mereka. Disamping itu, mereka juga mengambil dalil dari hadits-hadits, salah satunya sabda baginda Rasulullah saw., “Roh Kudus (Jibril) telah membisikkan ke dalam kalbuku: ‘Tidak akan mati suatu jiwa sebelum dipenuhi rizki, ajal, dan apa-apa yang ditakdirkan baginya”.

Masalah takdir telah memainkan peranan penting dalam mazhab-mazhab Islam --firqah theologi terdahulu. Ahlus Sunnah memiliki pendapat yang pada intinya mengatakan bahwa, manusia itu memiliki apa yang disebut dengan kasb ikhtiari didalam perbuatan-perbuatannya --tatkala manusia hendak berbuat sesuatu, Allah menentukan/menciptakan amal perbuatan tersebut. Jadi, manusia kelak dihisab berdasarkan kasb ikhtiari ini. Allah Azza wa Jalla, Sang Pencipta-lah yang menciptakan tingkah laku dan perbuatan manusia. Makhluk mempunyai keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya itu mengikuti keinginan dan kehendak Sang Khaliq. Ahlus Sunnah menetapkan bahwa segala yang diperbuat Allah ada hikmahnya dan segala usaha akan membawa hasil atas kehendak-Nya.

Sedangkan Mu’tazilah memiliki pendapat yang ringkasnya adalah bahwa, manusia sendirilah yang menciptakan dan menentukan perbuatannya, jadi manusia dihisab berdasarkan perbuatannya --sebab ia sendirilah yang menciptakannya. Menurut mereka, Allah tidak banyak berperan. Adapun Jabbariyah memiliki pendapat tersendiri, yang ringkasnya bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia langsung “satu paket” dengan perbuatannya, jadi manusia seperti “dipaksa” melakukan perbuatannya dan tidak ada kebebasan dalam memilih --ibaratnya seperti bulu yang diterbangkan oleh angin kemana saja. Bahkan, mereka menolak adanya hikmah dan maslahat dalam perbuatan dan ketentuan --hukum-- Allah Swt.

Kebalikan dari Jabbariyah, namun terlihat “kembar” dengan Mu’tazilah, Qadariyyah disebut oleh Nabi saw. sebagai Majusinya ummat ini. Dikatakan seperti itu, karena keyakinan dan pendapat mereka --yang meyakini bahwa-- menyandarkan kebaikan kepada Allah dan menyandarkan keburukan kepada manusia juga syaithan. Padahal Allah menciptakan keduanya secara bersamaan. Tidak akan terjadi sesuatu dari keduanya melainkan dengan Masyiatullah --kehendak Allah, keduanya disandarkan kepada-Nya tentang penciptaan dan kejadiannya. Dan disandarkan kepada orang yang melakukannya sebagai perbuatan dan usaha manusia.

Dasar pembahasan takdir berhubungan jika dilihat dari segi pahala dan siksa. Hubungan yang ada hanya dengan “penciptaan”, bahwa Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, Iradah-Nya yang berkaitan dengan segala kemungkinan-kemungkinan, dan hubungannya dengan Lauhul Mahfuzh yang mencakup segala sesuatu. Dengan kata lain, tidak berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan: “Apakah manusia dipaksa melakukan perbuatan baik dan buruk, ataukah diberi kebebasan memilih?” Begitu pula dengan; “Apakah manusia diberi pilihan melakukan suatu pekerjaan atau meninggalkannya, atau sama sekali tidak diberi hak untuk memilih (ikhtiar)?”.

Oleh karenanya, Allah telah menyediakan pahala bagi perbuatan baik manusia, karena akalnya telah memilih menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan untuk perbuatan buruk, telah disediakan siksa, sebab akalnya telah memilih untuk melanggar perintah Allah dan mengerjakan larangan-Nya --yaitu saat manusia mengikuti hawa nafsu serta kebutuhan naluri dan jasmaninya bukan dengan cara yang disyariatkan Allah Swt. Jadi, balasan terhadap perbuatan semacam ini merupakan balasan yang haq serta adil, karena manusia bebas memilih tanpa ada paksaan apapun. Perkara ini tidak ada kaitannya dengan takdir. Yang menjadi fokus disini adalah tindakan si hamba --manusia itu sendiri-- dalam melakukan suatu perbuatan secara sukarela. Dengan demikian, manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Mudatstsir : 38 yang berbunyi: “Setiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya”.

Adapun mengenai Ilmu Allah, sesungguhnya ilmu-Nya tidak memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Sebab, Allah telah mengetahui sebelumnya bahwa manusia akan melakukan perbuatannya itu. Dilakukannya perbuatan --manusia-- tersebut bukan didorong oleh Ilmu Allah. Ilmu Allah itu bersifat 'azali --jauh sebelum Allah telah menetapkan ukuran-ukuran semua makhluk-Nya sebelum menciptakan langit dan bumi dalam jarak lima puluh ribu tahun, dan Allah mengetahui bahwa hambanya akan melakukan perbuatan tersebut. Mengenai adanya tulisan didalam Lauhul Mahfuzh tidak lain merupakan perlambang bahwa betapa Maha Luasnya Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.

Demikian pula halnya dengan Iradah Allah, tidak memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Yang dimaksud dengan Iradah Allah adalah, “tidak akan terjadi sesuatu apapun di malakut --alam kekuasaan-- Allah kecuali atas kehendak-Nya”. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu di alam ciptaan-Nya ini yang kejadiannya berlawanan dengan kehendak-Nya. Jadi, apabila manusia melakukan suatu perbuatan tanpa dicegah Allah, tanpa dipaksa, dan ia dibiarkan melakukannya secara sukarela, maka pada hakekatnya perbuatan manusia tersebut berdasarkan Iradah Allah, bukan berlawanan dengan kehendak-Nya. Perbuatan tersebut dilakukan manusia secara sukarela berdasarkan pilihannya. Sedangkan Iradah Allah tidak memaksanya untuk berbuat seperti itu.

Dengan demikian, pembahasan masalah takdir ini dapat mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan, selama ia sadar bahwa Allah senantiasa mengawasinya serta akan meminta pertanggungjawabannya. Manusia akan menyadari pula bahwa Allah Swt. telah memberikan kepadanya kebebasan memilih untuk melakukan suatu perbuatan ataupun meninggalkannya. Apabila manusia tidak bijak menggunakan “hak pilihnya” itu, tentulah ia akan terperosok ke dalam jahanam --memperoleh siksa yang pedih. Seorang mukmin sejati yang memahami hakikat takdir, hakikat nikmat akal dan nikmat “hak pilih” yang telah dikaruniakan Allah, akan waspada dan takut kepada Allah Swt. Dengan begitu, ia akan selalu berusaha melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebab takut ditimpa azab Allah serta merindukan Surga-Nya. Bahkan ia menginginkan yang lebih besar dari itu, yakni --berupa-- keridhaan Allah Azza wa Jalla.

Wallahu A’lam bis Shawab.

Posting Komentar untuk "Beda Aliran, Berbeda Memahami Takdir"