Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Valentine: Dirayakan Sepi-Sepi atau Ramai-Ramai?

Di era globalisasi ini, penetrasi budaya yang masuk dari luar tak bisa dibendung lagi. Budaya-budaya dari luar tersebut, dengan segala pro dan kontranya, menyita perhatian masyarakat dan memantik sejumlah perdebatan. Misalnya perayaan hari Valentine pada setiap 14 Februari. Hari Valentine memiliki akar sejarah dan budaya yang panjang di Eropa sebelum akhirnya diperkenalkan di Indonesia. Belakangan, perayaan ini mendapat respon penolakan dari sebaagian masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan jati diri bangsa, layaknya Liga inggris. Tak pelak, hari Valentine sepertinya telah menjadi salah satu ‘event perdebatan terjadwal tahunan’ di negeri ini.

Meskipun perayaan Valentine telah diharamkan oleh MUI, (walau banyak juga yang menolak fatwa ini), nyatanya banyak kalangan muslim Indonesia yang masih merayakan hari yang ‘katanya’ hari kasih sayang itu. Banyak muda mudi merayakannya dengan berbagai ekspresi. Pun demikian, banyak juga muda mudi yang ‘katanya’ menolak perayaan Valentine juga dengan berbagai ekspresi. Aksi perayaan Valentine dan reaksi penolakan perayaannya pun selalu berhasil mengundang massa memenuhi jalan raya dan menghiasi halaman portal berita.

Sejatinya, baik yang pro maupun kontra terhadap perayaan Valentine, semuanya merayakan Valentine. Hanya saja, cara mereka dalam mengekspresikan perayaan itu secara umum dibagi menjadi dua aliran: aliran sepi-sepi dan aliran ramai-ramai.

Bagi aliran sepi-sepi, hari Valentine dihayati sebagai momentum untuk mencurahkan kasih sayang kepada seorang yang ditaksir dengan acara yang privat dan romantis. Berbagai kelengkapan perayaan pun disiapkan, mulai dari yang sederhana seperti coklat, bunga, boneka, dan aksesoris lain berbentuk hati dan berwarna pink. Ada juga yang merayakannya dengan makan malam romantis bersama pasangan, jalan-jalan, dan bahkan bermalam di hotel! Tebak apa yang dilakukan berdua dalam kamar. Di media sosial, terutama akun-akun lelucon atau meme, sering diunggah lelucon yang menggambarkan ‘apa’ yang dilakukan muda mudi di malam Valentine. Bukan tidak mungkin jika lelucon ini bersumber dari fakta yang terjadi atau niat banyak muda mudi di malam 14 Februari. Sebuah kenyataan sosial bahwa Valentine dimaknai sebagai penyaluran hasrat yang tak sesuai dengan moral, etika, norma, dan syariat agama.

Sebenarnya, aliran sepi-sepi ini mayoritas diisi oleh para muda mudi yang masih puber dalam dunia percintamonyetan. Kawula muda yang sedang mabuk cinta ini seolah terdorong dengan gelombang trend Valentine yang seperti menjadi ajang ‘beradu kasih’ di dunia barat dan negara-negara maju. Seharusnya jika ingin meniru negara maju, Jepang misalnya, yang lebih layak ditiru adalah sifat higienis dan tepat waktu mereka, bukan perilaku seks bebas mereka. Kurangnya pengawasan dan bimbingan moral kaum muda puber cinta ini membuat mereka lebih condong memilih hal-hal yang negatif tanpa mempedulikan dampak yang kan ditimbulkan. Ini akan sangat berbeda pada mereka yang berpikiran dewasa dan berpikir bahwa cinta adalah perjuangan. Tentu menghamburkan uang untuk Valentine bukan pilihan bagi mereka yang serius mengumpulkan uang demi memenuhi mahar dan biaya pernikahan yang tak sedikit. Nasib lebih buruk malah dialami bagi mereka yang sudah berumah tangga. Bahkan di hari Valentine yang katanya hari kasih sayang pun kadang dimarahi oleh istri karena tuntutan keuangan untuk susu, popok, dan skincare!

Aliran kedua yang merayakan Valentine yaitu aliran ramai-ramai. Mereka adalah pejuang hijrah yang mengusung jihad syariah. Bagi mereka, Valentine adalah budaya kafir barat sekuler yang menyebarkan virus nafsu zina bagi kaum muda. Budaya kafir saja sudah dicap “man tasyabbaha bi qoumin fa huwa minhum“, apalagi zina. Maka tak heran, mereka mengkonsolidasi aksi-aksi yang mereka klaim sebagai penolakan terhadap hari Valentine. Kelompok ini ‘merayakan’ penolakan mereka secara beramai-ramai di jalan-jalan protokol di berbagai kota besar di Indonesia. Yang menarik, para simpatisan Valentine ramai-ramai ini lebih dahulu merayakan Valentine daripada aliran sepi-sepi, seolah mereka menjadi pengingat masyarakat bahwa sebentar lagi akan ada hari Valentine. Bagaimana tidak, seorang nenek renta di pedalaman menanyakan kepada cucunya apa itu Valentine setelah menonton berita demonstrasi menolak Valentine di TV. Lebih parah, tanggal 14 Februari tahun ini bertepatan hari Jumat, hari yang sering dipakai untuk demo. Bisa jadi di masa depan, hari Jumat berubah nama menjadi hari Demo.

Seperti kelompok pertama, kelompok ramai-ramai ini juga diisi oleh jiwa-jiwa puber. Bedanya, yang satu puber cinta, sedangkan yang ini puber agama. Puber agama tidak mengenal umur, tergantung perkenalan terhadap agama. Sebagaimana sifat puber yang bergelora, puber agama juga menjadikan orangnya meluap-luap dalam mengekspresikan kecintaan beragamanya. Sayangnya, agama yang dipahami oleh para puber ini biasanya bersifat puritan dan sektarian. Ini bisa dilihat dari atribut dan yel-yel yang dibawa saat mereka meramaikan jalan raya. Bahkan, isi aspirasi yang mereka sampaikan tak hanya sekedar penolakan terhadap Valentine. Tak jarang juga berisi agenda lain seperti politik bahkan tuntutan penggantian sistem pemerintahan. Bagi mereka, aksi mereka yang juga menyebabkan kemacetan lalu lintas itu adalah syiar Islam dalam rangka menjaga akhlak umat. Padahal, dalam aksi menjaga umat itu kadang juga terselip aksi yang tidak menunjukkan akhlak yang mulia. Mereka juga menyinggung ‘mereka’ yang dianggap ‘tau agama’ tapi tak mendukung aksi mereka. Padahal, masih banyak yang harus dilakukan daripada hanya mengikuti arus Valetine. Jangan mengaharapka santri punya perhatian dengan aksi tolak Valentine, sebab jadwal sima’an dan target setoran hafalan saja sudah cukup menjaga mereka dari virus Valentine!

Sikap Moderat

Tawassuth atau moderat adalah amanat yang diperintahkan agama dalam mengahadapi fenomena kehidupan, begitu juga dalam hiruk pikuk Valentine. Jangan sampai generasi muda Islam ikut aliran sepi-sepi. Walau demikian, tak perlu juga bergabung dengan kelompok ramai-ramai. Tapi, tidak melakukan apa-apa juga bukan opsi bagi pemuda, sebab orang yang ada atau tak adanya sama saja sejatinya adalah jenazah yang belum waktunya dimakamkan. Bagaimana harus bersikap?

Masyarakat Islam di Indonesia sudah punya contoh dalam mengatasi masalah serupa: Walisongo. Para wali menghadapi masyarakat yang memiliki budaya yang kebanyakan bertentangan dengan syariat Islam. Apakah para wali mendemo dengan memarahi dan memusuhi mereka? Tidak, sebab jika para wali bersikap demikian, sulit untuk mengajak mereka kepada Islam. Apakah para wali mengikuti budaya mereka? Juga tidak, sebab jika demikin mereka tidak disebut Walisongo. Para wali juga tidak mungkin berbuat apa-apa.

Lantas apa yang dilakukan para Walisongo dahulu?

Secara garis besar, langkah para wali dulu ada dua cara:

Membuat budaya tandingan yang tidak memusuhi budaya yang dihindari, tetapi cukup menarik untuk membuat pengamal budaya tersebut beralih ke budaya baru yang jauh lebih sesuai dengan syariat dan norma susila. Contohnya: menciptakan kesenian Islam untuk mengcounter kesenian yang dipadukan dengan klenik.Mengisi kulit budaya lama dengan isi yang lebih sesuai dengan syariat dan norma budaya. Metode ini banyak contohnya, seperti budaya sesaji yang diubah menjadi slametan atau kenduri, budaya wayang yang diisi dengan ajaran ketauhidan dan kisah para rasul, dan tradisi mendoakan orang yang telah meninggal dengan ayat-ayat Quran, dan lain-lain.

Bagaimana melakukannya? Itu tugas kaum muda Islam sekarang, bagaimana caranya. Walisongo yang hanya beberapa orang saja bisa mengislamkan Nusantara tanpa menimbulkan gejolak sosial di masyakat, masa umat Islam Indonesia sekarang yang sudah menjadi mayoritas di negeri ini lebih memilih cara-cara yang menimbulkan gejolak sosial hanya untuk mengatasi fenomena Valentine?

Salam,

Soleh Sutanto

Mahasiswa Program Reguler Khusus Angkatan 2019

Posting Komentar untuk "Valentine: Dirayakan Sepi-Sepi atau Ramai-Ramai?"