Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Agama Media Massa

Oleh: Lukman Hakim Husnan

Gagasan Sunan Kalijaga ditampik Mazhab Giri. Waktu itu, sang Syaikh Malaya mengusulkan agar peresmian Masjid Demak dimeriahkan dengan pagelaran wayang. Kelompok putihan, dipimpin Sunan Giri, menolak karena wayang masih belum kalis dari status haram –sebab ia merupa makhluk hidup. 

Syahdan, itulah asbabun nuzul kelahiran wayang kulit. Sunan kalijaga, disokong beberapa wali yang tergabung dalam faksi Tuban, memutus jalan tengah. Beliau kemudian memodifikasi wayang beber menjadi wujud ornamental seperti dikenal sekarang. Wayang jadi halal. Dan dengan wayang, juga melalui “sajen”, selametan, tembang-tembang, gamelan, dan sebagainya, walisongo mematrikan kegemilangan dakwah Islam. 

Sunan Kalijaga memang prototipe yang berbeda dari Sunan Giri, pun dari mertua mereka berdua, Sunan Ampel. Buat Sunan Kalijaga, istiadat masyarakat tak boleh selamanya dibatalkan. Ia penting justru karena keberadaannya yang lekat dalam struktur psikologis umat, dan karena itu patut dimanfaatkan sebagai alat dakwah. Menyangkalnya bisa berakibat fatal; dakwah akhirnya terjepit dan jadi gagal. Sebaliknya, Sunan Ampel khawatir, jangan-jangan adat yang ditaburi dengan cita rasa agama tersebut membikin kabur penglihatan para pengikutnya. Dan sesajen pun ditakutkan bakal disangka bagian dari Islam itu an sich. 

Maka, hidup di abad digital laik sekarang, wacana debat walisongo semestinya disikapi dengan arif. Kemelimpahan ragam media (medium) membuat kita –sebagai komunikator alias sender–seoptimis Sunan Kalijaga. Dakwah keagamaan kini memiliki saluran (channel) yang lebih variatif. Tetapi Sunan Giri membikin kita mafhum, format pesan (message) tidak boleh disusun secara gampangan. Ia mesti mempertimbangkan kualitas; ia harus tak serampangan. Dan, akhirnya, Sunan Ampel seperti menyeru kita untuk menakar pendengar–komunikate atau receiver. Jangan sampai mereka dibuat terasing (teralienasi) oleh medium. 

Di sini, Sunan Giri dan Sunan Ampel seolah menjelma Marshall McLuhan. Yang belakangan pernah menujum, kelak dunia akan betul-betul seluas daun kelor. Berkat radio, telepon, film, televisi, dan seterusnya, dunia menjadi kampung global (global village). Lebih dari itu, McLuhan akhirnya sampai pada kesimpulan, media (alat) kini menjadi pesan itu sendiri. The medium is the message. Orang menjadi amat bergantung pada media, meski pada saat yang sama–insaf tak insaf–kesadarannya telah tergadaikan. 

McLuhan membagi media ke dalam dua kategori; panas dan dingin. Distingsi tersebut merefleksikan relasi kontrol kedua jenis media terhadap pemirsanya. Dengan media panas (hot medium), McLuhan bermaksud menunjuk jenis media yang melibatkan partisipasi dari receiver-nya. Media cetak seperti buku, koran, majalah, dan lain-lain, merupakan perwakilan dari kategori ini. Sebaliknya, media dingin (cold medium) cenderung otoriter. Ia menuntut partisipasi yang amat rendah dari pemirsa. Lewat tampilan visualnya yang liar dan vulgar, imajinasi khalayak jadi tak tersisa sama sekali. Amsal pertama, dan terutama, dari jenis media yang seperti ini adalah televisi. 

Teknologi televisilah, seperti dikemukakan Jerry Mander, yang dengan sendirinya menetapkan batas mutlak pada apa-apa yang dapat melewatinya. “Television,” ungkap Mander, “has no democratic potential.” Praktisi pertelevisian dikepung oleh deretan citra yang diduga dapat menangguk rating; entitas abstrak peranakan rezim pasar. Sementara penonton mau tak mau disuguhi gambar-gambar bombastis atas nama, biasanya, relaksasi. Dus, lahirlah lingkaran setan bernama alienasi. Dan medium –program-program populer televisi layaknya sinetron, iklan, opera sabun, dan banyak lagi, telah benar-benar menjadi message itu sendiri. Masyarakat, seperti kata McLuhan, berubah menjadi massa, sementara abad ini adalah era kerumunan (mass-age). 

Dari sudut ini, niat baik menyiarkan agama via media massa–utamanya melalui kotak kaca–menjadi problem yang cukup genting. Bukan inti pesan itu sendiri yang barangkali jadi soal, melainkan efek-efek lipstik yang satu paket dengannya. Simaklah sinetron-sinetron reliji yang disuguhkan tivi kita. Citra miskin dipadukan dengan kesederhanaan, kesopanan, dan–pendeknya–kebaikan, sementara image kaya praktis diasosiasikan dengan kesombongan, korup, dan keburukan. Imbasnya, pemirsa mereproduksi gambaran; yang miskin pasti elok dan yang kaya pasti durjana. Mungkin tidak sehiperbolis itu, memang, tetapi di tempat saya –di Palembang, kealiman seseorang kerapkali ditakar dari seberapa besar jubah atau seberapa berkibar surban yang ia pakai. Saya menduga, ini juga dampak dari pencitraan sosok ustaz atau kiai di televisi. 

Alhasil, meminjam idiom KH. Mustofa Bisri, agama berubah daging; shalat daging, haji daging, dzikir daging. Agama tidak menjadi nyawa. Hingga, seperti disinyalir oleh banyak ulama kita akhir-akhir ini, kejahatan kian merajalela biarpun tiap tahun negeri ini menyumbang kuota jemaah haji yang melimpah. 

Jalan terbaik adalah kembali ke khittah walisongo. Seperti Sunan Ampel dan Sunan Giri, kita mesti berpikir ulang saat terbersit niat mengawinkan agama dengan kebudayaan populer garis miring kebudayaan massa; budaya media. Jikapun betul kita tak bisa mengelak, satu-satunya yang bisa kita harapkan adalah lahirnya kapabilitas yang sedigdaya Sunan Kalijaga. Semoga.

Posting Komentar untuk "Agama Media Massa"