Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Kota Makkah, Pesantren, Hingga Tidur 309 Tahun

Kekuatan sebuah masyarakat dan bangsa sangat tergantung dengan kekuatan para pemudanya. Bahkan kemajuan dan harapan masa depan suatu bangsa pun tidak dapat dilepaskan dari kualitas dan peran generasi muda. Maka pantas saja kalau sang Proklamator, Bung Karno pernah mengatakan, “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Sejarah telah membuktikan bahwa laju sejarah bangsa Indonesia berproses karena peran besar para pemuda. Dimulai dari perjuangan panjang membebaskan bangsa dari kolonialisme dan imperialisme Eropa, yang antara lain tertuang dalam “Sumpah Pemuda” 1928, mempertahankan ideologi Pancasila hingga bergerak massif meruntuhkan rezim yang dipandang tidak berpihak pada rakyat. Pemuda merupakan organ vital dalam sebuah konstruksi sejarah bangsa. “Syubban al-yaum rijal al-ghad”, pemuda hari ini adalah penentu arah bangsa pada hari-hari esok. Begitulah di antara kata-kata bijak menyebutkan. Bangsa dan masyarakat ini membutuhkan pemuda-pemuda yang kuat untuk menghadapi arus global dan tantangan masa depan yang jauh lebih berat dan sulit. 

Ada tiga momentum penting di bulan Oktober 2021 yang menyangkut kualitas pemuda dan generasi bangsa, yakni maulid Nabi saw., hari santri, dan hari Sumpah Pemuda. Mengapa tiga momentum ini penting? Karena banyak nilai dan pesan moral yang terdapat pada ketiganya dan bisa dipetik sebagai pembelajaran. Tidak ada peristiwa masa lalu yang dikisahkan dalam teks-teks agama kecuali bertujuan sebagai ‘ibrah dan keteladanan. Paling tidak, begitulah disebut dalam Qs. Yusuf : 111. 

Dari kota Makkah yang tengah diselimuti "kejahiliyaan", 14 abad silam, lahirlah bayi mulia yang kelak menjadi cahaya semesta, Nabi agung Muhammad saw. Kelahiran beliau disambut tangis gembira sang ibu dan kakeknya. Sementara sang ayah telah wafat beberapa bulan setelah beliau berada dalam kandungan. Beberapa tahun berikutnya sang ibu juga meninggal, sehingga beliau menjadi yatim piatu di usia enam tahun. Dua tahun berselang, sang kakek yang mengambil hak asuhnya pun meninggal saat beliau berusia delapan tahun. Selanjutnya, di bawah asuhan sang paman, Abu Thalib, Muhammad kecil mulai mengembala kambing dan membantu usaha dagang pamannya. Perlahan tapi pasti, pemuda al-amin ini menjadi sosok yang kuat, tangguh, mandiri, dan visioner, sehingga pada usai 12 tahun ia sudah ikut kafilah dagang ke Syam bersama sang paman. Di usia yang ke 17 tahun, beliau telah memimpin sebuah ekspedisi perdagangan ke luar negeri lebih dari 17 negara. 

Puncak karier bisnis Rasulullah saw. adalah ketika menjalin kerjasama dengan Khadijah dan terus mengembangkan ekspedisi ekspor-import ke dan dari berbagai negara. Dalam usia yang masih sangat belia, beliau telah dikenal sebagai seorang pengusaha muda yang sukses. Tidak mengherankan jika beliau kemudian melamar Khadijah menjadi istrinya dengan mahar 20 ekor unta "bakrah" senilai lebih dari Rp1 Milyar bila dikonversi ke dalam Rupiah saat ini. Suatu angka yang sangat fantastis untuk ukuran sebuah mahar. 

Dari fragmen kilas kisah masa muda Rasulullah saw. tersebut terdapat beberapa hal yang perlu dicermati bagi para pemuda dan tunas generasi bangsa. Pertama, bahwa kepedihan hidup karena ditinggal oleh orang-orang terkasih tidaklah harus menjadikan diri terus larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Tapi segeralah bangkit karena hidup masih harus terus berlanjut. Bahkan, untuk mencapai sukses dari sebuah usaha tidak boleh bergantung dan berharap kepada siapa pun termasuk orang tua sekalipun. Seorang pemuda yang kuat adalah mereka yang menggantungkan harapannya hanya pada Tuhan. Berhadap pada manusia hanya akan melahirkan mental-mental pencitraan, “menjilat”, “cari muka” dan pamer prestasi semu. “Orang yang menggantungkan harapannya pada manusia pasti akan mememui kekecewaan,” Begitu kata Ali ibn Abi Thalib ra. 

Kedua, berusaha menjadi pribadi mandiri dan tidak menjadi beban orang lain. Dalam agama, meminta—meski kepada orang atau saudara sendiri— dan menjadi beban orang lain ternyata tidak lebih baik daripada bekerja dengan usaha yang halal meskipun mungkin dipandang hina oleh orang lain. Rasul saw. pernah mengingatkan, “Sungguh jika seorang di antara kamu mengambil tali, lalu pergi ke hutan mengambil kayu bakar, mengikat, memikul lalu menjualnya, itu lebih mulia daripada ia meminta-minta baik diberi ataupun ditolak.” Dalam hal ini agama memandang penting sifat “iffah” atau harga diri yang harus dimiliki oleh setiap pemuda beriman. Meminta dan menjadi beban orang lain adalah sebuah kehinaan. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh semua generasi muda. Karenanya, semangat entrepreneurship harus dibangun dan ditumbuhkan sejak dini. Bahkan Rasul saw. telah memulainya sejak beliau berusia 8 tahun, meskipun diawali hanya dengan jual jasa mengembalakan kambing. 

Ketiga, menjadi pribadi yang jujur, profesional, dan visioner. Aspek kejujuran merupakan prinsip paling mendasar dalam setiap usaha atau pekerjaan yang melibatkan orang lain. Jika masa muda Rasul saw. dikenal sebagai seorang pedagang, maka hakikat setiap profesi dan pekerjaan adalah berdagang, jenisnya saja yang berbeda. Tidak hanya menjadi kunci utama untuk sebuah kesuksesan, tetapi dalam kejujuran juga terdapat keberkahan. Sebaliknya, keberhasilan yang diraih dengan kecurangan hanya akan melahirkan kesuksesan palsu dan rapuh. Dipastikan tidak akan bertahan lama dan jatuh dengan sendirinya tergerus oleh seleksi alam. Selain itu, usaha yang berbasis kejujuran akan menjadi semakin kuat bila ditopang dengan profesionalitas dan visi kerja. Artinya, dalam bekerja seseorang harus mampu mendisiplinkan diri, menghargai waktu, memiliki target, dan hanya melakukan hal-hal produktif yang menunjang masa depan kariernya. Prinsip-prinsip inilah antara lain yang menjadi pondasi dasar kesuksesan besar bisnis Rasul saw. di usia yang masih sangat belia. 

Membangun tunas generasi bangsa yang berkualitas di tanah air antara lain telah dimulai dan dibangun oleh para ulama terdahulu dengan pola pendidikan pesantren. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua ulama, tokoh agama, dan pemikir Islam bangsa ini dahulunya adalah para santri pesantren dari berbagai pelosok nusantara. Prinsip dasarnya antara lain adalah bahwa kualitas pemuda dan generasi bangsa sangat ditentukan oleh kekuatan iman dan kekokohan akhlak. Karenanya peran agama berskala sangat penting dan ekstra prioritas dalam membentuk tunas-tunas bangsa dan pesantren adalah basisnya. Kelemahan iman dan kemiskinan akhlak generasi penerus merupakan kekhawatiran massal yang paling mengkhawatirkan bagi umat beriman (Qs. an-Nisa’: 9). Dua aspek ini pula yang menjadi kekhawatiran nenek moyang bangsa Israil, Nabi Ya’qub as. sebelum beliau meninggal (Qs. al-Baqarah: 133). Sejak dini pendidikan pesantren telah menanamkan pesan-pesan kemandirian, tidak menjadi beban orang lain, bergantung dan berharap hanya pada Tuhan, menjadi pribadi yang jujur, profesional dan visioner. Oleh karena itu, jangan pernah “remehkan” santri-santri sarungan, karena di dada mereka telah tertanam kuat prinsip-prinsip Muhammad kecil saw. yang siap meminjam istilah Bung Karno—“mengguncangkan dunia”. 

Teladan dan cerminan pemuda yang kuat dalam menjaga kesucian iman juga antara lain dideskripsikan oleh Al-Qur’an dalam kisah pemuda-pemuda Kahfi.  Dominasi kezaliman dan kesyirikan yang ditopang oleh kekuatan penguasa adalah ancaman yang sangat serius terhadap keteguhan iman. Para pemuda ini kemudian uzlah ke dalam sebuah gua dan hanya berharap pada pertolongan dan perlindungan Allah Swt. Seorang pemuda beriman harus mampu mengukur kekuatan sendiri, sehingga tidak membuang energi sia-sia. Ada jenis kezaliman yang harus dihadapi dengan fisik secara frontal dan face to face. Ada pula kezaliman yang bisa dilawan dengan retorika dan mujadalah oral. Namun ada juga jenis kezaliman yang hanya dapat dihadapi dengan diam. Diam tidak berarti pengecut, tidak bertindak bukan berarti penakut. “Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala janb al-mashalih”, “menghindar untuk menyelamatkan jiwa lebih diutamakan daripada meraih kemashalatan umum”.  Para pemuda Kahfi lari menuju Allah Swt. dengan misi penyelamatan iman. Lalu Allah Swt. menidurkan para pemuda ini selama 309 tahun dan membangunkan mereka dari tidur panjang setelah kezaliman penguasa itu sirna ditelan sunnatullah. 

Tidak bisa dibantah bahwa arus kemajuan teknologi informasi saat ini telah jauh merasuk ke dalam semua sendi kehidupan manusia. Ibarat pisau bermata dua, kemajuan teknologi informasi membawa banyak manfaat dan maslahat di satu pihak, namun juga membawa dampak negatif dan mudarat yang tidak sedikit bagi generasi muda dan para tunas bangsa di pihak lain. Umat dan bangsa mengharapkan pemuda dan generasi yang kuat dan tangguh, sekuat dan setangguh Rasulullah saw. Mentalitas pemuda Kahfi dalam menjaga kesucian iman yang diharap mengakar kuat di dada para santri di berbagai pesantren pelosok negeri membawa harapan baru menuju Indonesia yang lebih baik. Setelah bermaulid Nabi saw. dan meraup hikmahnya, selamat ber-hari santri dan Sumpah Pemuda 2021.  Wallahu a’lam!

Posting Komentar untuk "Dari Kota Makkah, Pesantren, Hingga Tidur 309 Tahun"