Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menangkal Hoax di Laman Metaverse

Oleh: John Supriyanto

Bila pandemi Covid-19 telah memutus jarak sosial, maka media sosial justru semakin merekatkannya, bahkan nyaris tanpa jarak. Semua yang terjadi di salah satu belahan bumi dalam waktu yang sama bisa disaksikan secara live oleh mereka yang berada di belahan bumi lainnya berkat kecanggihan teknologi. Boleh jadi pandemi telah memporak-porandakan hampir seluruh sektor ekonomi, namun tidak berlaku bagi dunia informasi teknologi (IT) dan semua yang berkaitan dengannya, bahkan menjadikannya lebih melesat. Physical distancing, work from home (WFH), proses belajar dan pertemuan virtual, webinar dan lain sebagainya berperan sangat besar mendorong lahirnya revolusi digital dalam semua aspek kehidupan manusia. Media sosial yang dibiarkan melaju bebas tanpa kendali nilai dikhawatirkan akan merusak sistem kehidupan sosial itu sendiri. Di antaranya adalah mudahnya tersebar informasi bohong atau hoax di media sosial, Metaverse. 

Metaverse adalah nama baru dari Facebook, sebuah situs jejaring sosial ciptaan Mark Zukerberg di California AS yang berdiri pada tahun 2004 dan bermetamorfosis di akhir Oktober 2021. Misinya tidak tanggung-tanggung, melalui Facebook, Instagram, Whatsapp, Twitter dan lain-lain, Metaverse berkomitmen menjaring milyaran orang dari seluruh dunia. Saat ini pengguna aktif Metaverse di dunia telah mencapai 2,85 milyar atau 35% dari seluruh penduduk bumi. Di tanah air, sebanyak 176,5 juta penduduknya telah menjadi pengguna aktif Metaverse atau sebanding dengan 63% dari total populasi penduduk Indonesia. Negara pengguna Metaverse terbanyak di dunia adalah India dengan 416,6 juta. Indonesia berada pada peringkat ketiga terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat dengan angka 256,2 juta pengguna. 

Besarnya angka pengguna aktif Metaverse di Indonesia menyebabkan cepatnya penyebaran informasi di masyarakat melalui media sosial. Namun ironisnya penyebaran informasi yang begitu cepat itu terkadang tanpa diiringi filter tabayyun tentang kebenarannya, antara fakta dan rekayasa, jujur dan bohong, benar dan hoax. Dengan begitu banyak di antara berita yang tersebar justru menciptakan keresahan dan kehebohan masyarakat. Kebiasaan orang yang langsung sharing tanpa saring informasi di media sosial semakin memperparah beredarnya berita-berita bohong atau hoax. 

Al-Quran menyebut berita bohong dengan istilah “al-ifk” atau “hadits al-ifk” (Qs. an-Nur: 11). Sebagai salah satu dampak negatif dari kemajuan IT, penyebaran berita bohong telah menimbulkan banyak masalah di masyarakat. Bahkan berita bohong yang dikemas secara sensasional dan membentuk hipotesis masyarakat menjadi lebih sulit dikendalikan sehingga melahirkan konflik secara politis, etnis, agama, keamaanan, dan lain sebagainya. Rendahnya kesadaran memfilter informasi menjadi sebab utama cepatnya penyebaran hoax, ditambah pula oleh rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang tema sebuah berita yang diterima, sehingga dengan mudahnya orang berbagi tanpa meneliti. 

Hoax terkini yang cukup meresahkan masyarakat adalah tentang fenomena garis putih di atas langit Indonesia yang dikatakan sebagai penyebaran chemtrail penyebab Omicron dan varian baru Covid-19. Berita ini kemudian terbantahkan setelah dikonfirmasi secara resmi oleh Kepala LAPAN yang menyebut bahwa itu adalah contrail atau jejak kondensasi pesawat berupa gas buang yang bertemu dengan udara dingin di jalur terbang. Sebelumnya juga beredar berita tentang bahaya vaksin Covid-19 sebagai sebuah konspirasi global. Disebutkan bahwa di dalam vaksin terdapat chip super halus yang menyebabkan kematian dalam jangka waktu tertentu. Ada pula tersebar di media sosial belum lama ini berita menghebohkan tentang adanya gerakan terorganisir yang berupaya “menghabisi” para ustaz, ulama dan para imam masjid. Tidak kalah hebohnya juga pernah beredar informasi tentang gencarnya penculikan anak untuk diambil organ tubuhnya, produksi telor palsu dan beras plastik, dan lain-lain. 

Sejarah penyebaran informasi bohong atau hoax sebenarnya sudah dimulai sejak awal sejarah manusia itu sendiri. Sebut saja misalnya informasi palsu iblis kepada Adam dan istrinya bahwa pohon larangan khuld adalah sumber keabadian di surga jika dekati dan dimakan buahnya, sedangkan Tuhan telah melarang mendekati pohon tersebut (Qs. Thaha: 120).  Ada pula hoax putra-putra Nabi Ya’qub as. tentang keberadaan saudara mereka Yusuf yang diterkam serigala saat bermain (Qs. Yusuf: 17-18). Begitu juga hoax yang paling heboh dan diceritakan dalam Al-Quran adalah tentang tuduhan perselingkuhan antara ‘Aisyah ra., istri Rasulullah saw., dengan Shafwan ibn Mu’aththal as-Sulami yang disebarkan dan diprovokasi oleh kaum munafik Madinah dan kemudian dikenal dengan “hadits al-ifk” (Qs. an-Nur: 11-20). Data-data ini membuktikan bahwa penyebaran informasi bohong sudah terjadi sejak lama, hanya saja bentuk dan caranya mengikuti perkembangan dinamika kehidupan manusia. Mengingat hidup manusia saat ini didukung dan dilingkupi kecanggihan IT, maka daya sebar pemberitaan hoax melaju lebih mudah, cepat, dan mengglobal.

Dengan IT, saat ini dunia seakan berada dalam genggaman dan pengaruh jari-jemari menjadi sangat luar biasa. Jari tidak hanya berfungsi sebagai media untuk menuliskan kata hati atau pikiran, tapi juga dapat mewakili keberpihakan seseorang terhadap sebuah konten kiriman (posting-an), like atau dislike. Acungan jempol ke arah atas atau ke bawah sudah cukup menunjukkan keberpihakan atau ketidakberpihakan seseorang pada sebuah opini, informasi, aksi, atau apa pun yang ada di laman gawainya. Fungsi jempol ternyata tidak sesederhana bentuknya, tapi mampu membuat pengaruh yang tidak kecil dalam dunia media sosial, baik berupa fakta ataupun hoax. Oleh karena itu, sebagaimana umat beriman diperintahkan untuk berhati-hati dengan lidahnya, maka begitu pula terhadap jari-jemarinya. Sebab, sembarangan menggunakan fungsi jemari dapat dengan mudah membuat orang lain tersakiti, tersinggung atau bahkan marah. Perdebatan dan pertikaianpun bisa muncul hanya karena sebuah posting-an, caption atau komentar. Lebih dari itu, membagikan atau meneruskan sebuah informasi bohong atau belum jelas kebenarannya sama halnya dengan melakukan kebohongan itu sendiri yang dalam agama dapat berisiko dosa dan segala konsekuensinya. “Kebohongan menggiring pada keburukan dan keburukan menggiring ke neraka,” begitu sabda Nabi saw. dalam sebuah penggalan hadisnya. 

Dalam pendangan Al-Quran ada nilai-nilai etis yang harus dikedepankan dalam menghadapi atau menerima berita. Konsep tabayyun atau klarifikasi merupakan salah satu tuntunan paling elit yang ditawarkan Al-Quran (Qs. al-Hujurat: 9). Namun, tuntunan tabayyun ini kerap kali diabaikan, entah karena keterbatasan pemahaman penerima, ketergesaan atau bisa jadi karena ingin dianggap up to date di antara komunitas sosialnya. Satu hal yang pasti bahwa faktor kurangnya edukasi konsep-konsep Qurani tentang etika berkomunikasi dan bermedia-sosial menjadi sebab utama penyebaran hoax secara cepat di masyarakat. Untuk mengidentifikasi sebuah berita, Al-Quran menyinyalir adanya unsur kebohongan berita dengan melihat sifat-sifatnya, yakni berupa dugaan dan sengaja dibuat-buat atau al-kharsh (Qs. al-An’am: 116); bertentangan dengan fakta atau al-syathath (Qs. al-Jinn: 4); menakjubkan atau al-buhtan (Qs. an-Nur: 16); menghebohkan masyarakat atau al-irjaf (Qs. al-Ahzab: 60); memesona atau as-sihr (Qs. Thaha: 66); dan menipu atau al-ghurur (Qs. al-Anfal: 49). 

Selain itu, menurut Al-Quran dalam kasus berita bohong yang berupa fitnah, pencemaran nama baik atau pembunuhan karakter bahwa “orang dalam” adalah paling potensial sebagai pelakunya (Qs. an-Nur: 11). Sebab dan modusnya bisa bevariasi, bisa saja karena dendam, iri hati atau ada tujuan lain yang lebih besar. Intinya, setiap orang harus berhati-hati dengan teman dekatnya, karena bisa jadi dari sanalah berita fitnah itu bersumber. Sikap seorang beriman terhadap korban fitnah adalah harus tetap mengedepankan baik sangka (husn al-zhann), sebelum didapat keterangan kebenarannya dengan tabayyun atau klarifikasi (Qs. an-Nur: 12). Sedangkan klarifikasi formal tentang sebuah tuduhan atau fitnah harus melibatkan 4 orang saksi (Qs. an-Nur: 13). Hal ini menunjukkan betapa agama sangat menekankan bahwa kebenaran sebuah berita harus didasarkan atas persaksian yang benar-benar akurat. Tidak hanya itu, hal yang terpenting dalam menyikapi sebuah berita bohong adalah dengan tidak menjadi bagian yang terlibat aktif membicarakannya (Qs. an-Nur: 16). Oleh karena itu, dalam konteks bermedia-sosial, sikap paling arif menghadapi sebuah posting-an yang belum diketahui kebenarannya adalah dengan menahan diri dan mengklarifikasi, tidak tergesa-gesa mem-forward ke orang lain. Bila tidak, maka berarti ia terlibat dan ikut andil dalam penyebaran berita bohong. 

Berita bohong yang beredar dan menjadi viral di media sosial Metaverse tidak lepas dari peran orang-orang yang meneruskannya. Oleh karena itu, jadilah warganet yang arif, yakni dengan saring sebelum sharing. Wallahualam!

Posting Komentar untuk "Menangkal Hoax di Laman Metaverse"